PENDAHULUAN
BAB I
A.
Latar Belakang
Dimana menyebarkan ilmu yang mehidupkan islam tidak
kalah nilainya dengan jihad fi sabilillah, disaat ilmu pendekatan pada
agama ini tidak mendapat respon karena situasi dan kondisi, seperti ilmu
mushthalah hadits. Padahal ilmu ini tumbuh di zamannya atau atas dasar
Mahabbatun Nabi yang kuat dan menunjukan nilai keimanan yang tinggi, tumbuh
dari tanda kecintaan pada nabi yang beragam dan berbeda-beda sampai menjadi
sebuah disiplin ilmu tersendiri dari sekian disiplin ilmu islam yang lain.
Tetapi ilmu Mushthalah Hadits akhirnya hanya menjadi sebuah kenangan bukan
renungan, karena tidak bias lagi di operasionalkan seperti di zamannya yang
menyimpulkan dijaganya hadits-hadits rosulallah SAW oleh Allah seperti
dijaganya Al-qur’an sebagai sumber kebenaran yang mutlak. Oleh karena itu untuk
menjaga hadits-hadits di perlukannya sebuah ilmu untuk memahami hadits secara
mendalam yaitu dengan adanya Ulumul Hadits.
Diawal
pertumbuhan ilmu hadits, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu pada kekuatan
hapalannya tanpa menuliskan hadits yang mereka hapal sebagaimana yang mereka
lakukan dengan Al-Qur’an. Kemudian ketika sinar Islam mulai menyebar keberbagai
penjuru negeri, wilayah kaum muslimin mulai meluas, para sahabat Nabi pun
menyebar disejumlah negeri hingga sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta hapalan kaum
muslimin yang datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai
merasakan pentingnya mengumpulkan hadits dan menuliskannya karena ditakutkan
ilmu-ilmu hadits Rasulullah SAW akan lenyap seiring berjalannya waktu dengan
meninggalnya para sahabat Rasulullah SAW.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian Kodifikasi ?
2.
Bagaimanakah
Sejarah Hadits dari periode ke periode?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah agar makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan menjadi
sumber ilmu yang bermanfaat.
PEMBAHASAN
BAB
II
A.
Pegertian Kodifikasi
Yang dimaksud
kodifikasi (tadwin) adalah mengumpulkan, menghimpun atau membukukan, yakni
mengumpulkan dan menertibkannya. Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis
adalah menghimpun catatan-catatan hadis Nabi dalam mushaf. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
kodifikasi ialah suatu proses dimana dilakukannya upaya penghimpunan,
pembukuan, pengklasifikasian, pencatat dan pemberian tanda terhadap suatu objek
tertentu. Apabila yang menjadi objek penghimpunan, pengumpulan dan pencatatan
itu adalah hadis-hadis, disebutlah kodifikasi hadis. Dengan demikian, secara
sederhana kodifikasi dapat diartikan sebagai usaha menghimpun, mengumpul dan
mencatat hadis- hadis Rasul saw. dalam buku.
Antara kodifikasi
(tadwin) hadis dan Jam’ul Qur’an memiliki perbedaan. Sebagaimana dikatakan M.
Quraisy Syihab , pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadis Nabi tidak sama
dengan pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadis Nabi tidak sama dengan
pencatatan dan penghimpunan al-Qur’an (Jam’ul Qur’an) . Dalam tadwin hadis,
tidak dibentuk tim, sedangkan dalam Jam’ul Qur’an dibentuk tim . Kegiatan
penghipunan hadis dilakukan secara mandiri oleh masing-masing ulama ahli hadis.
Sekiranya penghimpunan hadis itu harus dilakukan oleh sebuah tim, niscaya tim
itu akan menjumpai banyak kesulitan, karena jumlah periwayat hadis sangat
banyak dan tempat tinggal mereka tersebar di berbagai daerah Islam yang cukup
berjauhan.
Di samping
itu, hadis Nabi tidak hanya termuat dalam satu kitab saja. Kitab yang memuat
hadis Nabi cukup banyak ragamnya, baik dilihat dari segi nama penghimpunnya,
cara penghimpunannya, masalah yang dikemukakannya, maupun bobot kualitasnya.
Sedangkan kitab yang menghimpun Seluruh ayat al-Qur’an yang dikenal dengan
Mushaf al-Qur’an hanya satu macam saja. Dengan demikian, penghimpunan hadis
Nabi berbeda dengan penghimpunan al-Qur’an. Masa kodifikasi
(tadwin) hadis terbagi dua, yaitu kodifikasi hadis yang bersifat pribadi
(tadwin al-syakhshiy) dan kodifikasi hadis secara resmi (tadwin al-rasmiy).
Kodifikasi yang bersifat pribadi belum menjadi kebijaksanaan pemerintah secara
resmi sudah dimulai sejak masa Rasul. Sementara kodifikasi hadis secara resmi
menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi baru dimulai pada masa Umar ibn
Abdul Aziz.
B. Sejarah Hadits
Dalam Islam kedudukan hadits sebagai
sumber ajaran islam, menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Ia bukan saja
menjadi penguat dan penjelas A-Qur’an, tetapi juga dijadikan sebagai dasar
penetapan hukum baru yang tidak atau belum dijelaskan oleh Al-Qur’an.
Mengingat posisinya yang demikian penting,
sementara keberadaannya tidak seperti al-Qur’an yang sifatnya qath’iyyah
al-wurud, maka tidak mengherankan jika kemudian hari keberadaannya menjadi
sasaran serangan oleh mereka yang tidak senang terhadap islam (misalnya
Goldziher, 1850-1912M) dengan meragukan akan keberadaan hadits berasal dari
Rosulullah saw, bahkan Joseph Schacht(1902-1969M) menyatakan bahwa tidak
satupun hadits yang otentik dari Nabi saw, khususnya hadits-hadits tentang
hukum.
Selanjutnya di dalam kalangan Islam
sendiri, ditemukan kelompok yang bisa dikenal dengan istilah inkarussunnah
yang lahir di Mesir dan Irak, yang tidak menjadikan hadits sebagai sumber
ajaran Islam. Hal ini membuat ilmu-ilmu hadits menampakkan titik urgensi
dirinya dalam mempertahankan dan mempertanggung jawabkan otentitas hadits
secara ilmiah, seperti ilmu rijal al-hadits, takhrij al-hadits, mushtalah
hadits dan lain sebagainya.
C. Periode Periwayatan Melalui
Lisan Dan Tulisan
1. Larangan
menulis A1-Hadits
Di
masa
Rasulullah saw, masih hidup, al Hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya
seperti al Qur’an. Para sahabat, terutama mempunyai tugas istimewa, selalu
mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat Al Qur’an di atas
alat-alat yang mungkin dapat digunakannya. Tetapi tidak demikian halnya
terhadap al Hadits. Kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk
dan bimbingan Nabi dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam
Al Qur’an, namun mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi
mendatang selama Al Hadits belum diabadikan dalam tulisan.
Para sahabat
menyampaikan sesuatu yang ditanggapi dengan pancainderanya dari nabi Muhammad
saw dengan berita lisan belaka. Pendirian ini mempunyai pegangan yang kuat,
yakni sabda Nabi:
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ
الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ
يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ
الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّي وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ
“Jangan
kalian tulis sesuatu yang telah kalian terima dariku selain Al Qur’an.
Barangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain al Qur’an, hendaklah ia
hapus. Ceritakan saja yang kalian terima dariku, tidak mengapa. Barangsiapa
yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dari
neraka.” (HR Muslim 5326)
Hadits dia atas disamping
menganjurkan agar meriwayatkan hadits dengan lisan, juga memberi ultimatum kepada
seseorang yang membuat riwayat palsu.
Larangan penulisan hadits tersebut
ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu
memasukkan hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al Qur’an, karena dianggap
segala yang dikatakan Rasulullah adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi
generasi yang tidak menyaksiakan zaman tanzil (turunnya wahyu), tidak mustahil
adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga
bercampur aduk antara al Qur’an dan al Hadits.
2. Perintah
menulis A1-Hadits
Disamping Rasulullah SAW melarang menulis
Al Hadits, beliau juga memerintahkan kepada beberapa sahabat tertentu untuk
menulis al Hadits. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra
menerangkan bahwa sesaat ketika kota Makkah telah dikuasai kembali oleh
Rasulullah saw, beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia. Di waktu
beliau berpidatotiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dri Yaman, yang
bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah saw ujarnya:
يَارَسُولَ
اللهِ ,اكْتُبُوالِى فَقَالَ : اكْتُبُوا لَهُ
“Ya Rasulullah !
Tulislah untukku” Jawab Rasul “Tuliskanlah oleh kalian sekalian untuknya”
Menurut Abu Abdir
Rahman bahwa tidak ada satupun riwayat tentang perintah menulis Hadits yang
lebih sah, selain hadits ini. Sebab Rasulullah dengan tegas memerintahnya.
Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan al Hadits yang bersifat
pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’in.
D.
Kodifikasi Hadist Secara Resmi
1. Sebab Hadits Di Kodifikasi
Kodifikasi
Hadits itu justru dilatar belakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan
menyebarluaskan hadits-hadits palsu dikalangan ummat Islam, baik yang dibuat
oleh ummat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang
luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini
ternyata masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa
literatur kaum Muslimin. Di samping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan
yang berkembang dikalangan masyarakat Islam, berupa anggapan terhadap
pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits.
Walaupun
ditinjau dari segi isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu
ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasul. Sebab
Sabda Rasulullah : "Barangsiapa berdusta atas namaku maka siap-siap saja
tempatnya dineraka".
Alhamdulillah,
berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits itu kemudian sempat
dibukukan dalam berbagai macam buku, serta diadakan seleksi-seleksi ketat oleh
mereka sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu
Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung seluruh
usaha-usaha penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah
melahirkan norma-norma dan pedoman-pedoman khusus untuk mengadakan seleksi
sebaik-baiknya yang dituangkan dalam ilmu musthalah hadits tersebut.
Sehingga dengan
pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-seleksi
seperlunya. Nama-nama Ishak bin Rahawih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama
at-Turmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah dan banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya
adalah rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits
dari kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut.
2.
Pendapat
Ulama tentang Kapan Kodifikasi Secara Resmi
Ada beberapa
pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak
dimulai.
a.
Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat
Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada
sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi
Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa
al-Qadaya..
b.
Sejak abad I H, yakni atas prakarsa
seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir
bin Murrah, seorang ulama HImsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian
disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan
bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada
di luar wilayah kekuasaannya.
c.
Sejak
awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘ Abbasiyyah, ‘Umar ibn ‘Abdul
‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah
kekuasaannya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri,
beliau berkirim surat yang isinya:” Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu
tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para
ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, beliau menyatakan:
“Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadis yang ada
pada ‘Amrah (Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H), karena aku mengkhawatirkan ilmu
itu akan hilang dan lenyap.”
Pendapat ketiga
ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah
gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para
gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut
yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian
menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian,
penulisan hadis yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa
Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal
abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif
tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal
yang sama sebelumnya.
Adapun siapa
kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 123 H), karena
beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadis dalam satu kitab dan
menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya:
”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami
menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada
setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut
sebagian besar sejarawan dan ahli Hadis. Adapun ulama yang berpandangan
Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadis pertama,
ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr
ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah.
Meski demikian,
ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadis sebelum adanya instruksi
kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Azia telah dilakukan, yakni oleh
Khalid bin Ma’dan (w. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat seperti
itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang
diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini
ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual, dan
hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya
naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah
al-Sahihah.
3.
Faktor-faktor
yang mendorong Kodifikasi
Ada beberapa hal
yang mendorong ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan
para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menulis hadis, diantaranya
adalah :
a. Tidak ada lagi kekhawatiran
bercampurnya hadis dengan Alquran, karena Alquran ketika itu telah dibuktikan
dan disebarluaskan.
b. Munculnya kekhawatiran akan hilang
dan lenyapnya hadis karena banyak para sahabat yang meninggal dunia akibat usia
atau karena seringnya terjadi peperangan.
c. Semakin maraknya kegiatan pemalsuan
hadis yang dilatar belakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab di
kalangan umat Islam. Hal ini upaya untuk menyelamatkan hadis dengan cara
pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera dilakukan.
d. Karena telah semakin luasnya daerah
kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan
yang dihadapi umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapat
petunjuk dari hadis Nabi saw., selain petunjuk Alquran.
E.
Para Sahabat Yang Mempunyai Naskah Hadits
1.
Abdullah bin
Amr bin Ash
Abdullah bin Amr bin
Ash ra (7 thn sebelum hijrah – 65 H) adalah salah seorang sahabat yang selalu
menulis apa yang pernah didengarnya dari nabi Muhammad saw. Tindakan ini pernah
ditegur oleh orang-orang Quraisy, ujarnya: “Kau tiliskan semua apa-apa yang
telah kau dengar dari Nabi ? Sedang beliau itu sebagai manusia, kadang-kadang
berbicara dalam suasana suka dan kadang dalam suasana duka ?” Atas teguran
tersebut. Ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada Rasulullah saw. Sabda
Rasulullah:
اكْتُبْ
! فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ , مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ
“Tulislah !
Demi Dzat yang nyawaku ada ditangan-Nya, tidaklah keluar dari pada-Nya, selain
hak” (HR Abu Daud dengan sanad yang shahih)
Rasulullah saw
mengidzinkan kepada ‘Abdullah bin Amr bin Ash’ untuk menulis apa-apa yang
didengarnya dari beliau, dikarenakan ia adalah salah seorang penulis yang baik.
Naskah Abdullah bin Amr
dinamai dengan “Ash Shahifah Ash Shadiqah”, karena ditulisnya secara langsung
dari rasulullah saw, yang sebenar-benarnya apa yang diriwayatkan daripadanya.
Naskah hadits Ash
Shadiqah berisikan hadits sebanyak 1000 hadits dan dihafal serta dipelihara
oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama Amr bin Syuaib meriwayatkan
hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits.
Bila naskah Ash
Shadiqah tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, maka dapatlah kita
temukan secara kutipan pada Kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Sunan An
Nasa’i, Sunan At Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majjah.
2.
Jabir bin
Abdullah al Anshari
Naskah hadits
Jabir bin Abdullah Al Anshari dinamai “Shahifah Jabir”. Qatadah bin Dama’ah As
Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya: “Sungguh Shahifah ini lebih
kuhafal daripada surat Al Baqarah”
1. Diantara Tabi’in
yang mempunyai naskah al Hadits adalah Hummam bin Munabbih (40 H – 131 H).
Ia adalah seorang Tabi’in
yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah ra dan mengutip hadits
Rasulullah saw daripadanya banyak sekali. Hadits-hadits tersebut kemudian
dikumpulkannya dalam satu naskah yang dinamai “Ash Shahifah Ash Shahihah”.
Naskah Ash Shahifah Ash Shahihah berisikan hadits sebanyak 138 hadits.
Imam Ahmad di dalam Musnadnya
menukil hadits-hadits Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhari
banyak sekali menukil hadits-hadits tersebut ke dalam kitab Shahihnya, terdapat
dalam beberapa bab.
Ketiga buah naskah hadits di
atas adalah diantara sekian banyak tulisan hadits yang ditulis secara pribadi
oelh para sahabat dan Tabi’in yang muncul pada abad pertama.
Nash-nash yang melarang menulis
hadits di satu pihak dan yang mengidzinkan di pihak lain, bukanlah merupakan
nash-nash yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi dapt
dikompromikan sebagai berikut:
- Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi di awal-awal Islam untuk memelihara agar Hadits itu tidak bercampur dengan Al Qur’an. Tetapi setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telah dinasakhkan dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian hukum menulisnya adalah boleh
- Bahwa larangan menulis hadits itu adalah bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang-orang yang mempunyai keahlian tulis menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash
- Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada orang-orang yang lebih kuat menghafalnya daripada menulisnya, sedang peridzinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti Abu Syah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari hasil penyusunan makalah ini
dapat di simpulkan bahwa pengertian Hadits ialah sesuatu yang di sandarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan ketetapan, atau yang lain misalnya
berkenaan dengan sifat fisik, budi pekerti dan sebagainya. Sunnah adalah
aktifitas Nabi Saw yang yang di laksanakan secara terus menerus dan di
lestarikan oleh para sahabat. Khobar adalah segala sesuatu yang di sandarkan
kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat. Atsar
adalah berarti sesuatu yang hanya tertentu pada apa yang datang dari sahabat
dan sebawahnya. Hadis Qudsi adalah apa apa yang dihubungkan oleh rosulullah
kepada Allah selain al quran. Atau seperti perkataan sahabat yang menyebutkan
“bahwa Rasulullah saw bersabda dari apa yang beliau riwayatkan dariTuhannya.”
Sebagai kesimpulan bahwa adanya
larangan untuk menulis hadits pada masa wahyu masih turun, adalah merupakan
sikap kehati-hatian Rasulullah dalam menjaga kemurnian al-qur’an yang diikuti
oleh para Khulafa Rasyidin dengan memberikan batasan secara ketat dalam
penulisan hadits. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan
menulis hadits. Itupun dalam rang memenuhi kebutuhan ummat akan suatu permasalah
agama yang belum diketahui. Sehingga kita dapat melihat kegiatan tulis-menulis
hadits lebih pada surat kepada Sahabat yang lain. Ataupun hadits-hadits Nabi
ditulis sebagai koleksi pribadi Sahabat.
DAFTAR
PUSTAKA
As Sunnah Qabla
Tadwin, Muhhamad Al ‘Ajjaj Al Khatib.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi,Sejarah
& Pengantar Ilmu Hadis, Semarang; PT.Pustaka Rizki Putra.
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadis, Jakarta;Bumi
Aksara, Cet.I, 1997.
Ma'shum Zein Muhammad, 2007,
Ulumul Hadits & Mustholah Hadits.
Solahuddin, M.Agus, dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadis, Bandung:CV. Pustaka Setia, 2011.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta:PT.Mutiara
Sumber Widya,2001.
Titanium Max Trimmer | TITANIAN ART
BalasHapusTranscribed version of this text (pdf) titanium touring with 2 illustrations and titanium chords 2 titanium mens rings tips. This is citizen promaster titanium an outline of the TITIAN Max Trimmer concept. titanium dioxide skincare