Selasa, 12 April 2016

KODIFIKASI HADIS DAN SEJARAH HADITS



PENDAHULUAN
BAB I
A.    Latar Belakang

Dimana menyebarkan ilmu yang mehidupkan islam tidak kalah nilainya dengan jihad fi sabilillah, disaat ilmu pendekatan pada agama ini tidak mendapat respon karena situasi dan kondisi, seperti ilmu mushthalah hadits. Padahal ilmu ini tumbuh di zamannya atau atas dasar Mahabbatun Nabi yang kuat dan menunjukan nilai keimanan yang tinggi, tumbuh dari tanda kecintaan pada nabi yang beragam dan berbeda-beda sampai menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri dari sekian disiplin ilmu islam yang lain. Tetapi ilmu Mushthalah Hadits akhirnya hanya menjadi sebuah kenangan bukan renungan, karena tidak bias lagi di operasionalkan seperti di zamannya yang menyimpulkan dijaganya hadits-hadits rosulallah SAW oleh Allah seperti dijaganya Al-qur’an sebagai sumber kebenaran yang mutlak. Oleh karena itu untuk menjaga hadits-hadits di perlukannya sebuah ilmu untuk memahami hadits secara mendalam yaitu dengan adanya Ulumul Hadits.

 
Diawal pertumbuhan ilmu hadits, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu pada kekuatan hapalannya tanpa menuliskan hadits yang mereka hapal sebagaimana yang mereka lakukan dengan Al-Qur’an. Kemudian ketika sinar Islam mulai menyebar keberbagai penjuru negeri, wilayah kaum muslimin mulai meluas, para sahabat Nabi pun menyebar disejumlah negeri hingga sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta hapalan kaum muslimin yang datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai merasakan pentingnya mengumpulkan hadits dan menuliskannya karena ditakutkan ilmu-ilmu hadits Rasulullah SAW akan lenyap seiring berjalannya waktu dengan meninggalnya para sahabat Rasulullah SAW.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Kodifikasi ?
2.      Bagaimanakah Sejarah Hadits dari periode ke periode?
3.      Bagaimana Sejarah Pengkodifikasian Hadits ABAD ke 2 ?

C.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan menjadi sumber ilmu yang bermanfaat.



PEMBAHASAN
BAB II

A.    Pegertian Kodifikasi
Yang dimaksud kodifikasi (tadwin) adalah mengumpulkan, menghimpun atau membukukan, yakni mengumpulkan dan menertibkannya. Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis adalah menghimpun catatan-catatan hadis Nabi dalam mushaf. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kodifikasi ialah suatu proses dimana dilakukannya upaya penghimpunan, pembukuan, pengklasifikasian, pencatat dan pemberian tanda terhadap suatu objek tertentu. Apabila yang menjadi objek penghimpunan, pengumpulan dan pencatatan itu adalah hadis-hadis, disebutlah kodifikasi hadis. Dengan demikian, secara sederhana kodifikasi dapat diartikan sebagai usaha menghimpun, mengumpul dan mencatat hadis- hadis Rasul saw. dalam buku.
Antara kodifikasi (tadwin) hadis dan Jam’ul Qur’an memiliki perbedaan. Sebagaimana dikatakan M. Quraisy Syihab , pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadis Nabi tidak sama dengan pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadis Nabi tidak sama dengan pencatatan dan penghimpunan al-Qur’an (Jam’ul Qur’an) . Dalam tadwin hadis, tidak dibentuk tim, sedangkan dalam Jam’ul Qur’an dibentuk tim . Kegiatan penghipunan hadis dilakukan secara mandiri oleh masing-masing ulama ahli hadis. Sekiranya penghimpunan hadis itu harus dilakukan oleh sebuah tim, niscaya tim itu akan menjumpai banyak kesulitan, karena jumlah periwayat hadis sangat banyak dan tempat tinggal mereka tersebar di berbagai daerah Islam yang cukup berjauhan.
Di samping itu, hadis Nabi tidak hanya termuat dalam satu kitab saja. Kitab yang memuat hadis Nabi cukup banyak ragamnya, baik dilihat dari segi nama penghimpunnya, cara penghimpunannya, masalah yang dikemukakannya, maupun bobot kualitasnya. Sedangkan kitab yang menghimpun Seluruh ayat al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf al-Qur’an hanya satu macam saja. Dengan demikian, penghimpunan hadis Nabi berbeda dengan penghimpunan al-Qur’an. Masa kodifikasi (tadwin) hadis terbagi dua, yaitu kodifikasi hadis yang bersifat pribadi (tadwin al-syakhshiy) dan kodifikasi hadis secara resmi (tadwin al-rasmiy). Kodifikasi yang bersifat pribadi belum menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi sudah dimulai sejak masa Rasul. Sementara kodifikasi hadis secara resmi menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi baru dimulai pada masa Umar ibn Abdul Aziz. 

B.     Sejarah Hadits
Dalam Islam kedudukan hadits sebagai sumber ajaran islam, menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an. Ia bukan saja menjadi penguat dan penjelas A-Qur’an, tetapi juga dijadikan sebagai dasar penetapan hukum baru yang tidak atau belum dijelaskan oleh Al-Qur’an.
Mengingat posisinya yang demikian penting, sementara keberadaannya tidak seperti al-Qur’an yang sifatnya qath’iyyah al-wurud, maka tidak mengherankan jika kemudian hari keberadaannya menjadi sasaran serangan oleh mereka yang tidak senang terhadap islam (misalnya Goldziher, 1850-1912M) dengan meragukan akan keberadaan hadits berasal dari Rosulullah saw, bahkan Joseph Schacht(1902-1969M) menyatakan bahwa tidak satupun hadits yang otentik dari Nabi saw, khususnya hadits-hadits tentang hukum.
Selanjutnya di dalam kalangan Islam sendiri, ditemukan kelompok yang bisa dikenal dengan istilah inkarussunnah yang lahir di Mesir dan Irak, yang tidak menjadikan hadits sebagai sumber ajaran Islam. Hal ini membuat ilmu-ilmu hadits menampakkan titik urgensi dirinya dalam mempertahankan dan mempertanggung jawabkan otentitas hadits secara ilmiah, seperti ilmu rijal al-hadits, takhrij al-hadits, mushtalah hadits dan lain sebagainya.


C.    Periode Periwayatan Melalui Lisan Dan Tulisan
1.      Larangan menulis A1-Hadits
     Di masa Rasulullah saw, masih hidup, al Hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti al Qur’an. Para sahabat, terutama mempunyai tugas istimewa, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat Al Qur’an di atas alat-alat yang mungkin dapat digunakannya. Tetapi tidak demikian halnya terhadap al Hadits. Kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Al Qur’an, namun mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama Al Hadits belum diabadikan dalam tulisan.
Para sahabat menyampaikan sesuatu yang ditanggapi dengan pancainderanya dari nabi Muhammad saw dengan berita lisan belaka. Pendirian ini mempunyai pegangan yang kuat, yakni sabda Nabi:
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّي وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Jangan kalian tulis sesuatu yang telah kalian terima dariku selain Al Qur’an. Barangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain al Qur’an, hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kalian terima dariku, tidak mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dari neraka.” (HR Muslim 5326)
Hadits dia atas disamping menganjurkan agar meriwayatkan hadits dengan lisan, juga memberi ultimatum kepada seseorang yang membuat riwayat palsu.
Larangan penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam lembaran-lembaran tulisan al Qur’an, karena dianggap segala yang dikatakan Rasulullah adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksiakan zaman tanzil (turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara al Qur’an dan al Hadits.
2.      Perintah menulis A1-Hadits
     Disamping Rasulullah SAW melarang menulis Al Hadits, beliau juga memerintahkan kepada beberapa sahabat tertentu untuk menulis al Hadits. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra menerangkan bahwa sesaat ketika kota Makkah telah dikuasai kembali oleh Rasulullah saw, beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia. Di waktu beliau berpidatotiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dri Yaman, yang bernama Abu Syah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah saw ujarnya:
يَارَسُولَ اللهِ ,اكْتُبُوالِى  فَقَالَ : اكْتُبُوا لَهُ
 “Ya Rasulullah ! Tulislah untukku” Jawab Rasul “Tuliskanlah oleh kalian sekalian untuknya”
Menurut Abu Abdir Rahman bahwa tidak ada satupun riwayat tentang perintah menulis Hadits yang lebih sah, selain hadits ini. Sebab Rasulullah dengan tegas memerintahnya. Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan al Hadits yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’in.

D.    Kodifikasi Hadist Secara Resmi
1.      Sebab Hadits Di Kodifikasi
Kodifikasi Hadits itu justru dilatar belakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu dikalangan ummat Islam, baik yang dibuat oleh ummat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini ternyata masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literatur kaum Muslimin. Di samping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembang dikalangan masyarakat Islam, berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits.
Walaupun ditinjau dari segi isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasul. Sebab Sabda Rasulullah : "Barangsiapa berdusta atas namaku maka siap-siap saja tempatnya dineraka".
Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits itu kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam buku, serta diadakan seleksi-seleksi ketat oleh mereka sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung seluruh usaha-usaha penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah melahirkan norma-norma dan pedoman-pedoman khusus untuk mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam ilmu musthalah hadits tersebut.
Sehingga dengan pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-seleksi seperlunya. Nama-nama Ishak bin Rahawih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama at-Turmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah dan banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits dari kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut.

2.      Pendapat Ulama tentang Kapan Kodifikasi Secara Resmi
Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai.
a.       Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya..
b.      Sejak abad I H, yakni atas prakarsa seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama HImsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
c.       Sejak awal abad II H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘ Abbasiyyah, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya:” Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, beliau menyatakan: “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadis yang ada pada ‘Amrah (Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H), karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.”
Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian, penulisan hadis yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.
Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 123 H), karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadis dalam satu kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya: ”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadis. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadis pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah.
Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadis sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Azia telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan (w. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual, dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.

3.      Faktor-faktor yang mendorong Kodifikasi
Ada beberapa hal yang mendorong ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menulis hadis, diantaranya adalah :
a.       Tidak ada lagi kekhawatiran bercampurnya hadis dengan Alquran, karena Alquran ketika itu telah dibuktikan dan disebarluaskan.
b.      Munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis karena banyak para sahabat yang meninggal dunia akibat usia atau karena seringnya terjadi peperangan.
c.       Semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatar belakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat Islam. Hal ini upaya untuk menyelamatkan hadis dengan cara pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera dilakukan.
d.      Karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapat petunjuk dari hadis Nabi saw., selain petunjuk Alquran.

E.     Para Sahabat Yang Mempunyai Naskah Hadits
1.      Abdullah bin Amr bin Ash
Abdullah bin Amr bin Ash ra (7 thn sebelum hijrah – 65 H) adalah salah seorang sahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari nabi Muhammad saw. Tindakan ini pernah ditegur oleh orang-orang Quraisy, ujarnya: “Kau tiliskan semua apa-apa yang telah kau dengar dari Nabi ? Sedang beliau itu sebagai manusia, kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang dalam suasana duka ?” Atas teguran tersebut. Ia segera menanyakan tentang tindakannya kepada Rasulullah saw. Sabda Rasulullah:
اكْتُبْ ! فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ , مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ
“Tulislah ! Demi Dzat yang nyawaku ada ditangan-Nya, tidaklah keluar dari pada-Nya, selain hak” (HR Abu Daud dengan sanad yang shahih)
Rasulullah saw mengidzinkan kepada ‘Abdullah bin Amr bin Ash’ untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau, dikarenakan ia adalah salah seorang penulis yang baik.
Naskah Abdullah bin Amr dinamai dengan “Ash Shahifah Ash Shadiqah”, karena ditulisnya secara langsung dari rasulullah saw, yang sebenar-benarnya apa yang diriwayatkan daripadanya.
Naskah hadits Ash Shadiqah berisikan hadits sebanyak 1000 hadits dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama Amr bin Syuaib meriwayatkan hadits-hadits tersebut sebanyak 500 hadits.
Bila naskah Ash Shadiqah tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, maka dapatlah kita temukan secara kutipan pada Kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Sunan An Nasa’i, Sunan At Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majjah.


2.      Jabir bin Abdullah al Anshari
Naskah hadits Jabir bin Abdullah Al Anshari dinamai “Shahifah Jabir”. Qatadah bin Dama’ah As Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya: “Sungguh Shahifah ini lebih kuhafal daripada surat Al Baqarah”
1.      Diantara Tabi’in yang mempunyai naskah al Hadits adalah Hummam bin Munabbih (40 H – 131 H).
Ia adalah seorang Tabi’in yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah ra dan mengutip hadits Rasulullah saw daripadanya banyak sekali. Hadits-hadits tersebut kemudian dikumpulkannya dalam satu naskah yang dinamai “Ash Shahifah Ash Shahihah”. Naskah Ash Shahifah Ash Shahihah berisikan hadits sebanyak 138 hadits.
Imam Ahmad di dalam Musnadnya menukil hadits-hadits Humam bin Munabbih keseluruhannya. Dan Imam Bukhari banyak sekali menukil hadits-hadits tersebut ke dalam kitab Shahihnya, terdapat dalam beberapa bab.
 Ketiga buah naskah hadits di atas adalah diantara sekian banyak tulisan hadits yang ditulis secara pribadi oelh para sahabat dan Tabi’in yang muncul pada abad pertama.
Nash-nash yang melarang menulis hadits di satu pihak dan yang mengidzinkan di pihak lain, bukanlah merupakan nash-nash yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi dapt dikompromikan sebagai berikut:
  1. Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi di awal-awal Islam untuk memelihara agar Hadits itu tidak bercampur dengan Al Qur’an. Tetapi setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telah dinasakhkan dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian hukum menulisnya adalah boleh
  2. Bahwa larangan menulis hadits itu adalah bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang-orang yang mempunyai keahlian tulis menulis, hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya dan tidak dikhawatirkan akan salah, seperti Abdullah bin Amr bin Ash
  3. Bahwa larangan menulis hadits ditujukan kepada orang-orang yang lebih kuat menghafalnya daripada menulisnya, sedang peridzinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya, seperti Abu Syah.



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Dari hasil penyusunan makalah ini dapat di simpulkan bahwa pengertian Hadits ialah sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan ketetapan, atau yang lain misalnya berkenaan dengan sifat fisik, budi pekerti dan sebagainya. Sunnah adalah aktifitas Nabi Saw yang yang di laksanakan secara terus menerus dan di lestarikan oleh para sahabat. Khobar adalah segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat. Atsar adalah berarti sesuatu yang hanya tertentu pada apa yang datang dari sahabat dan sebawahnya. Hadis Qudsi adalah apa apa yang dihubungkan oleh rosulullah kepada Allah selain al quran. Atau seperti perkataan sahabat yang menyebutkan “bahwa Rasulullah saw bersabda dari apa yang beliau riwayatkan dariTuhannya.”
Sebagai kesimpulan bahwa adanya larangan untuk menulis hadits pada masa wahyu masih turun, adalah merupakan sikap kehati-hatian Rasulullah dalam menjaga kemurnian al-qur’an yang diikuti oleh para Khulafa Rasyidin dengan memberikan batasan secara ketat dalam penulisan hadits. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan menulis hadits. Itupun dalam rang memenuhi kebutuhan ummat akan suatu permasalah agama yang belum diketahui. Sehingga kita dapat melihat kegiatan tulis-menulis hadits lebih pada surat kepada Sahabat yang lain. Ataupun hadits-hadits Nabi ditulis sebagai koleksi pribadi Sahabat.



DAFTAR PUSTAKA

As Sunnah Qabla Tadwin, Muhhamad Al ‘Ajjaj Al Khatib.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi,Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis, Semarang; PT.Pustaka Rizki Putra.
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadis, Jakarta;Bumi Aksara, Cet.I, 1997.
Ma'shum Zein Muhammad, 2007, Ulumul Hadits & Mustholah Hadits.
Solahuddin, M.Agus, dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung:CV. Pustaka Setia, 2011.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta:PT.Mutiara Sumber Widya,2001.

1 komentar:

  1. Titanium Max Trimmer | TITANIAN ART
    Transcribed version of this text (pdf) titanium touring with 2 illustrations and titanium chords 2 titanium mens rings tips. This is citizen promaster titanium an outline of the TITIAN Max Trimmer concept. titanium dioxide skincare

    BalasHapus