Pendidikan yang bergantung pada kinerja guru adalah suatu
keniscayaan ditengah-tengah banyak orang tua siswa yang dewasa ini telah sangat
sedikit memiliki waktu untuk mendidik anaknya. Ini disebabkan karena perkembangan
jaman dan kerasnya tuntutan perekonomian (terutama karena semakin berkembangnya
budaya konsumerisme), membuat orang tua mau tidak mau bekerja lebih keras dalam
memenuhi kebutuhan keluarganya. Jadi, wajarlah bahwa pendidikan formal di
sekolah adalah solusi utama dalam membentuk karakter anak-anak yang
berkualitas. Berkualitas dalam segala potensinya, baik kognitif, afektif, dan
psikomotorik, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Keadaan di mana ketergantungan pendidikan kita yang semakin
tinggi terhadap guru, membuat persiapan “pencetakan” guru-guru pun harus lebih
diseriusi lagi. Metode lama yang dipakai sampai saat ini rasanya harus
dievaluasi karena relevansinya mulai luntur akibat tuntutan-tuntutan yang
mendesak itu.
Aku akan menyoroti tentang pendidikan karakter kita di
sekolah. Sesuai dengan silogisme yang dikontruksi pada awal tulisan ini,
kemudian dengan melihat kondisi di mana keadaan anak usia sekolah --dibanyak
pemberitaan media nasional, tentang kasus-kasus kriminal seperti pemerkosaan
dan pembunuhan, maka tidak bisa dielakan bahwa ini adalah cerminan kegagalan
pendidikan karakter kita.
Pendidikan karakter yang serius dan dengan persiapan matang
diseluruh komponen, harusnya dapat mencegah hal buruk yang demikian itu. Lalu
apa gerangan yang membuat kasus-kasus kriminal yang pelakunya adalah anak-anak
usia sekolah seperti pada pemberitaan media-media kita (katakanlah kasus Yuyun
di rejang Lebong, Bengkulu) terjadi? Sekali lagi, dengan tidak mengurangi rasa
hormat ku kepada guru-guru yang telah bekerja keras selama ini, aku katakan
bahwa tetap ada yang salah pada proses yang guru kita lakukan.
Pengambilan kesimpulan di atas tidak terlepas dari prinsip
pendidikan sebagaimana yang telah teredaksi dalam Undang-undang Sistem
Sendidikan Nasional (UU Sisdiknas), yang menyebutkan bahwa “Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara”.
Perhatikanlah nilai-nilai yang diharapkan pada hasil proses
pendidikan dalam redaksi di atas, jika salah satu nilai itu tidak terwujud,
maka benar lah, ada yang salah pada pendidikan kita, atau dengan kata lain ada
yang salah pada aktor utama proses pendidikan itu, yaitu guru.
Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai moral yang baik
tentu menjadi tanggung jawab semua guru mata pelajaran. Namun, tanggung jawab
itu memiliki porsi yang berbeda-beda. Pelajaran PPKn misalnya, di tengah-tengah
pendidikan karakter yang mesti terintegrasi pada seluruh mata pelajaran tadi,
mata pelajaran PPKn tentu tetap memiliki porsi terbesar dalam tanggung jawab
membangun moral siswa. Pada tingkat yang lebih lanjut, bahkan pelajaran PPKn
bertanggung jawab dalam menanamkan nilai-nilai idiologi bangsa: Pancasila.
Dalam proses pembelajaran seorang guru PPKn harus dapat
mentransferkan karakter budi luhur bangsa baik di dalam kelas saat menyampaikan
materi maupun di luar kelas dengan menjadi contoh pribadi yang sempurna.
Artinya begini, ketika seorang guru PPKn mengajak siswannya untuk menjadi warga
negara yang sesuai dengan nilai pancasila, maka Ia harus telah menjadi seperti
itu dulu. Saya membayangkan misalnya, bagaimana bisa efektif ajakan seorang
guru kepada siswanya untuk tidak pernah membuang sampah sembarangan, tetapi pada
kesempatan lain guru itu justru membuang sampah sembarangan di depan
siswa-siswanya. Dalam contoh yang lain, bagaimana guru PPKn mengajarkan
nilai-nilai sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab” tetapi dalam proses
pembelajaran itu guru selalu marah-marah, tidak sabar, menghardik siswa dengan
ucapan-ucapan tidak pantas, atau memalukan siswa di depan siswa lain hanya
karena siswa itu melakukan kesalahan?
Memang, butuh sebuah kesadara bahwa guru PPKn ternyata
memiliki tanggung jawab yang begitu berat. Indikator kesuksesan pembelajarannya
pun tidak sama dengan mata pelajaran yang lain. Pada mata pelajaran lain, nilai
hasil ujian bisa jadi sudah cukup untuk menyimpulkan apakah siswa telah
menguasai seluruh materi pembelajaran atau belum. Tapi pada pembelajaran PPKn,
nilai ujian tidak sekonyong-konyong dapat berfungsi begitu. Indikator
keberhasilan pembelajarannya memiliki kerumitan yang lebih jauh. Bahwa siswa
berhasil dididik oleh seorang guru PPKn tidak terlepas dari ukuran berupa kualitas
perilaku yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari siswa itu sendiri.
Dengan demikian, seharusnya proses pencetakan guru PPKn pun
harus berbeda dibandingkan dengan guru-guru mata pelajaran lain. Aku memiliki
pendapat bahwa setidaknya Pendidikan bagi calon guru PPKn harus lepas dari
Universitas umum yang seperti saat ini. Sebagai gantinya, pendidikan calon guru
PPKn dibuatkan wilayah khusus, di bawah naungan langsung Kementrian Riset Teknologi
dan Pendidikan Tinggi misalnya, atau di bawah Kementrian Pertahanan. Sekolah
seperti yang kumaksud itu tidak ubahnya seperti sekolah tinggi kedinasan yang
sudah ada saat ini, sepeti STAN, STIS, STPDN, AKPOL, AKMIL, dan sebagainya.
Pendidikan calon guru PPKn yang berjalan saat ini bukan
berarti tidak berkualitas. Aku hanya menyayangkan bahwa tidak ada habitusasi
tentang nilai-nilai Pancasila pada proses pendidikan mahasiswanya. Semua berjalan
seperti kuliah pada umumnya. Tidak ada yang spesial, padahal tanggung jawab
mahasiswa setelah menyelesaikan pendidikan itu luar biasa sepesialnya: menjadi
corong utama transformasi idiologi bangsa. Lihatlah berita tentang pembunuhan
dosen PPKn oleh mahasiswanya sendiri di UMSU Medan, itu setidaknya menjadi
penegas apa yang telah ku utarakan, dan kejadian seperti itu, renungkanlah, harusnya
tidak pantas terjadi.
Kembali lagi, dengan konsep pendidikan yang seperti sekolah
kedinasan, ku rasa itu lebih efektif membentuk calon guru PPKn yang matang dan berkualitas.
Sebabnya adalah, pada sekolah seperti itu mahasiswa dapat dihidupkan dalam
lingkungan yang benar-benar Pancasilais. Dengan dosen-dosen yang berkapasitas
Pancasilais pula tentunya. Maksudku, dosen-dosen yang tidak berperilaku,
misalnya: tidak empati; tidak peduli; tidak adil; hedonisme; konsumtif; senang
melihat orang susah, susah melihat orang senang; tidak mau mengaku salah
walaupun bersalah; sukar meminta maaf; sukar mengucap terimakasih; tidak mau
mendengar kritik; suka menghardik, memalukan mahasiswa di depan mahasiswa
lainnya; sogok menyogok nilai; dan sebagainya.
Ku pikir pula, belajar tentang idiologi sebenarnya sama
mudahnya dengan belajar bahasa asing: tidak perlu banyak menghapal materi,
cukup dengan membuat lingkungan dan budaya di dalamnya sesuai dengan apa yang
seharusnya. Lihatlah pendidikan lembaga bahasa Inggris di Kampung Inggris,
Pare-pare, Jawa Timur yang terkenal itu. Di sana pembelajaran bahasa Inggring
tidak hanya terkonstruksi di dalam kelas, namun sudah menjadi habit di
lingkungan kampung. Apa-apa harus dilakukan dengan berbahasa Inggris, membuat
kesan seolah-olah jika tidak berbahasa Inggris maka kita sulit hidup di sana. Karena
metode seperti itu lah Kampung Inggris menjadi tempat impian utama orang-orang
yang ingin belajar bahasa Inggris dengan mudah dan cepat.
Pendidikan “kedinasan” PPKn pun dengan segala habituasi yang
dapat dikondisikan dalam kehidupannya, tentu akan bisa menghasilkan orang-orang
yang berperilaku seperti apa yang diharapkan negara ini. Jangankan untuk maling
misalnya, melihat orang membuang sampah sembarangan pun ia merinding.
Orang-orang seperti itulah yang kemudian dapat kita percaya
untuk memegang tampuk pendidikan karakter bangsa pada kapasitas: Guru
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Republik Indonesia.
Namun tidak sedikit juga orang yang berpikir begini, “mau
lingkungannya tidak Pacasilais sekali pun, jika Ia berniat menjadi seorang
Pancasilais, tentu pasti bisa”. Pada hal yang seperti itu, aku hanya bisa
mengatakan bahwa: aku lebih percaya pada proses pendidikan yang di rencanakan
dengan matang, ketimbang menanti hasil keajaiban yang sempurna dari kerusakan
yang kita biarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar